Jumat, 22 April 2011

PESAN WAISAK 2555/2011


SANGHA AGUNG INDONESIA
Alamat Surat: Jl.Mangga II No. 8 Jakarta 11510 Telp. +6221-5640271, 5687921 Fax. +6221-5687923
Dewan Pimpinan

PESAN WAISAK 2555/2011
SANGHA AGUNG INDONESIA
Namo Sanghyang Âdi Buddhaya
Namo Buddhaya, Bodhisattvâya-Mahâsattvâya

Semua yang Terkondisi Tidak Abadi, dengan Eling Berjuanglah untuk Pembebasan

Setiap bulan Waisak, umat Buddha di seluruh penjuru dunia merayakan kebiasaan religius agung yang kemudian dikenal sebagai hari raya Waisak atau Vesak day. Hari Waisak pada hakikatnya adalah hari kemanusiaan karena berisi kisah siklus hidup manusia unggul bernama Sidharta Gautama dengan dedikasi total terhadap kemanusiaan, alam, dan keharmonisan. Tepat pada tahun 623 sebelum masehi di Taman Lumbini Sidharta lahir; tahun 588 sebelum masehi mencapai pencerahan di Buddhagaya; kemudian tahun 543 sebelum masehi wafat di hutan Sala milik suku Malla, Kusinara.

Waisak menjadi penting untuk terus diperingati karena memiliki nilai transformatif, memberi petunjuk paling manusiawi dalam mengisi kehidupan manusia. Sakyamuni Buddha memahami bahwa kehidupan dengan berbagai isinya merupakan sesuatu yang sementara (anicca), sehingga harus diisi dengan akumulasi perbuatan beradab yang mampu menopang kebahagiaan, kesejahteraan sendiri, dan makhluk lain (M.I.415-419). Kesempurnaan budi dan kejernihan hati membuatnya mampu menyadari bahwa kesementaraan adalah realitas hidup (A.I.286), berkah, peluang, sekaligus kesempatan untuk terus berkarya bukan sebagai ancaman, pemicu ketakutan, hingga terbelenggu, serta menghamba pada hal-hal rendah.

Mampukah kita memiliki kejernihan Buddha dalam menatap kehidupan? Sakyamuni Buddha menegaskan bahwa kejernihan, bahkan ke-Buddha-an bukanlah monopoli miliknya (Saddharmapundarika Sutra II), kejernihan akan datang bila dilatih dan dikondisikan (D.II.100). Salah satu metode yang efektif adalah dengan menghidupkan ”kesadaran” (D.II.290) yang dalam terminologi Jawa disebut ”eling”. Karakteristik ”eling” adalah jernih, waspada, sadar, laksana cermin jernih, mampu melihat sesuatu sebagaimana adanya. Kapasitas untuk terus ”eling” terhadap sesuatu yang terjadi di dalam diri dan lingkungan akan menuntun manusia untuk berjumpa dengan segala sesuatu dalam kondisi yang paling alamiah dan murni. Eling yang terasah adalah gerbang pengetahuan, penembusan realitas, gerbang kepedulian terhadap sesama, pemusnah pandangan salah (diþþhâsava) dan kebodohan (avijjâsava) (D.II.91). Dalam hal ini bisa disimpulkan bahwa eling adalah gerbang pembebasan.

Menghadapi jebakan modernitas yang penuh dengan nuansa egoisme, individualisme, ketidakpedulian terhadap alam dan sesama, mengejar kenikmatan tanpa nurani, pengetahuan tanpa karakter, maka ”eling” menjadi alternatif sekaligus solusi yang prospektif dan relevan. Terjadinya defisit integritas dan kepedulian tersebut sebenarnya disebabkan oleh surplus kegaduhan mental yang tidak pernah tertangani secara tuntas sehingga membajak kejernihan manusia (bodhicitta) menjadi kekacauan. Dalam mengatasinya, manusia cenderung berlindung dan terjebak pada ”pengalihan” terhadap hal-hal menyenangkan dan menenangkan yang bersifat sementara sehingga tidak pernah mencapai kebahagiaan sejati atau pembebasan. Akumulasi kegaduhan mental inilah sejatinya yang menjadi aktor utamampenyebab ketidakbahagiaan dan pendorong perilaku negatif manusia sebagaimana diuraikan dalam kitab Tri Svabhava Nirdesa sastra karya Vasubandhu seorang Dharma master Yogacara. Pikiran atau berbagai tindakan akan “tercetak” dalam gudang kesadaran yang terkumpul membentuk karakter manusia.

Dalam ajaran tentang eling atau meditasi vipassanâ bhâvana (D.II.290-315), kebahagiaan atau pembebasan adalah hal yang sangat sederhana. Seseorang yang mampu untuk sekadar eling, menyadari segala sesuatu yang ada di dalam dan diluar diri dalam konteks ”kekinian” maka segala kegaduhan mental penyebab derita akan luruh dan tidak memiliki kekuatan. Hanya dengan eling, mengamati secara awas, bukan dengan menghakimi, memusuhi, menekan, maka pembebasan akan muncul dengan sendirinya. Pembebasan justru hadir manakala kita dapat berdamai dengan segala negativitas yang kita miliki maupun dengan berbagai kondisi yang ada. Melatih eling secara bersama akan menjadi sebuah kegiatan yang sangat efektif dan menyenangkan. Eling secara kolektif atau sosial ini sangat dianjurkan oleh guru Buddha sebagai sebuah bentuk perlindungan sosial (sañgha) berupa komunitas orang-orang yang berkualitas secara spiritual (M.I.37). Tergerak oleh semangat pembebasan kolektif inilah, banyak bermunculan gerakan buddhis dunia yang terus berupaya menyelamatkan bumi dan segala isinya melalui berbagai program kegiatan riil, hal ini merupakan manifestasi dari energi pembebasan eling dalam sebuah organisasi pergerakan.

Dalam kontek Indonesia, semangat pembebasan melalui eling harus terus kita kobarkan bersama. Sikap sadar atau eling sosial akan mampu menangkap derita atau masalah sosial dan bereaksi spontan dengan belas kasih yang produktif dan solutif. Kita akan melihat masih adanya keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, maupun ketidakadilan secara jernih. Sebagai umat Buddha, kita terus aktif membantu pembebasan sosial tersebut tanpa mengedepankan sikap kecurigaan yang justru kontraproduktif. Umat dengan profesi bisnis memiliki landasan moral dan kepedulian sosial yang tinggi; yang menempuh jalur karir di pemerintahan eling dan amanah; sebagai pendidik mampu menciptakan generasi yang unggul melalui sikap keteladanan; sebagai petani ikut serta eling membantu pelestarian alam; sebagai generasi muda eling memperkaya diri dengan ilmu dan nilai. Sikap eling kolektif ini akan bekerja sinergis sehingga pembebasan sosial mampu terwujud.

Bila kita cermati realitas sejarah, rekam jejak agama Buddha di Nusantara selalu bercirikan semangat pembebasan sosial. Pada pertengahan abad 7, kerajaan Ho-ling atau Kalingga di Jawa dihormati sebagai pusat peradaban Buddhis yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsanya. Peziarah Hui- Ning dari China yang berguru pada biarawan Kalingga bernama Jnanabhadra, menyatakan bahwa kehidupan masyarakat Kalingga tertata dengan baik, sinergis, adil, makmur karena rakyat berpadu dengan pemerintah mengusung nilai-nilai pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Semangat pembebasan sosial juga dapat kita lihat dari prasasti Talang Tuo, pada tahun 684 Masehi atau tahun 606 Saka, Raja Buddhis Kedatuan Sriwijaya, Dapunta Hyang Jaya Naga atau Sri Jayanasa membangun taman atau kebun Sriketra untuk rakyat di Talang Tuo dekat bukit Siguntang. Tekad atau pranidhana pembangunan taman atau kebun Sriketra didesikasikan sebagai pembebasan rakyat dari kemiskinan, keterbelakangan, sehingga diharapkan secara setapak demi setapak akan mampu mencapai kesejahteraan, kebahagiaan materi, peningkatan moral, dan akhirnya mencapai pembebasan dari semua derita. Dalam prasasti Talang Tuo jelas ditekankan pentingnya eling, atau samadhi sebagai jalan penghantar pembebasan, pencerahan mencapai anuttarabhisamyaksambodhi sebagaimana petikan prasasti Talang Tuo berbahasa Melayu Kuno berikut: ”... tahu di samicranya cilpakala parawis samadhitacinta tmu ya prajnya smreti medhawi punarapi dhairyyamani mahasattwa ... awacana tmu ya anuttarabhisamyaksam vodhi ...”.

Ajaran Buddha yang sangat aplikatif di Sriwijaya kemudian menarik perhatian peziarah I-Ching sehingga berkunjung dan memperdalam ilmu keagamaan di Sriwijaya selama 3 kali pada tahun 671Masehi, 685-689 Masehi, dan tahun 689-695 Masehi. Berdasarkan catatan I-Ching, sistem pembelajaran agama Buddha di Sriwijaya dimulai dengan pengkajian kitab secara bersama, retreat-retreat Buddhis yang diisi dengan pengamalan ajaran eling dan belas kasih secara bersama; dan aktualisasi nilai Buddhis sebagai pembebas dari derita sosial sebagaimana tercermin dari semangat pranidhana pembangunan taman atau kebun Sriketra oleh Kedatuan Sriwijaya, Dapunta Hyang Jaya Naga. Kebersamaan pengkajian kitab dan retreat Dharma terorganisir, terhimpun yang pola dan sistemnya sama dengan yang berkembang di Madhyadesa India. Dharma centre mirip Madhyadesa dijadikan sebagai pusat kajian, penelitian pemikiran, maupun praktek Dharma yang bermuara pada pembebasan.

Bercermin dari rekam jejak Buddhis di Kalingga dan Sriwijaya, pola pendekatan praktek Dharma yang mengarah pada pembebasan sosial perlu kita adopsi, bangkitkan, lestarikan. Aspek liturgi, ritus tetap kita lestarikan sebagai sebuah pendekatan namun penekanan pada aspek pembebasan dengan metode eling urgen untuk diarusutamakan. Pengarusutamaan eling dapat dilakukan dengan memfungsikan organisasi keagamaan, wihara, institusi pendidikan yang kita miliki sebagaimana pola Madhyadesa yang dipraktekkan di Sriwijaya. Pola yang dikembangkan difokuskan pada pengkajian kitab, pembudayaan praktek Dharma berupa eling dan belas kasih yang mengarah pada pembebasan sosial. Konsistensi pelaksanaan pola ini akan mampu menjadikan eling sebagai jalan hidup atau menjadi budaya masyarakat. Masyarakat yang memiliki budaya hidup eling atau ”sadar” akan memiliki kapasitas untuk bangkit dan mencapai pembebasan bersama-sama. Hal ini selain akan bermanfaat bagi umat Buddha juga merupakan wujud pengabdian bagi bangsa dan negara. Masyarakat yang mampu eling, menata diri dengan baik akan selalu bermanfaat bagi sesama dan lingkungan alam sehingga menjadi modal dasar bagi pembangunan bangsa menuju bangsa besar dan berperadaban.

Akhirnya, marilah momentum Waisak ini kita jadikan sebagai momentum untuk bangkit, bertransformasi menuju manusia, masyarakat Buddhis yang sadar, eling, sehingga mampu menjadi bagian dari solusi terbebas dan membebaskan. Sadhu-Sadhu-Sadhu.


Jakarta, 10 April 2011
Mettacittena,
SANGHA AGUNG INDONESIA

dto
Mahathera Nyanasuryanadi
Ketua Umum
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar